Jumat, 15 Agustus 2008

Sastra adalah dunia imajinasi. Tapi tak ada karya sastra paling imajiner yang sanggup memiliki wilayah otonomi mutlak, subjektif, bahkan tiada sangkut pautnya dengan individu atau kalangan tertentu seperti perkataan Adolfo Sanchez Vasquez “sastra lahir dalam kekinian dan kedisinian yang konkret” (Art and Society, Merlin Press, London, 1973). Memang Vasquez dalam buku tersebut menuliskan pandangannya tentang seni (dalam konteks ini adalah sastra) dari kacamata Marxisme. Namun ada satu hal yang mewakili pandangan manapun: karya sastra tak mungkin lahir dari ruang kosong.


Kira-kira seperti itulah novel debutan Charles Michael Palahniuk atau Chuck Palahniuk ini lahir. Alumnus jurnalistik Universitas Oregon yang aktif sebagai jurnalis lepas ini lahir memotret sisi gelap sosok manusia kota di tengah generasi yang terjerumus modernisme semu. Tanda zaman yang seolah-olah baik adanya tapi karena pergerakan yang cepat, kejujuran dan sisi manusiawi menjadi hilang maknanya.


Fight Club (selanjutnya disebut FC) mengisahkan “aku” seorang pegawai biasa yang jenuh dengan rutinitas. Untuk mengalihkan kebosanan ia tiap malam masuk support group atau sharing problem orang-orang dengan masalah kesehatan. Semula keinginannya masuk grup untuk mengalihkan penyakit insomnia-nya. Berbagai obat dan cara tak berhasil. Sang dokter (yang mungkin juga sudah kehabisan akal) menyarankan untuk mengetahui seperti apa itu rasa sakit dengan melihat, misalnya, rasa sakit penderita kanker otak. Maka, masuklah “aku” ke berbagai support group. Misalnya hari Jumat ia mengikuti grup penderita tuberkulosis, hari Rabu tumor kulit, dan Senin penyakit leukemia. Keasyikannya mengikuti berbagai grup itu menemuinya pada kebohongan. Berkali-kali ia menjumpai cerita dalam support group itu ternyata hanya isapan jempol, bahkan dilebih-lebihkan. Tak hanya itu, ia menemui Marla, seorang cewek yang juga gemar mengikuti berbagai support group hadir berkali-kali dengan nama lain, persis seperti “aku”.


“Aku” kemudian menjumpai Tyler yang sepertinya memberi solusi daripada tiap hari menyaksikan kebohongan: mengikuti ada tinju rahasia (fight club). Dalam grup ini tak ada kebohongan: pokoknya bertarung, lepaskan seluruh beban dalam otak! Aturannya mudah, jangan cerita kepada siapapun tentang grup ini. Sebuah keputusan yang edan memang. Bahkan ketika di pagi harinya di kantor, walau dengan wajah babak belur, “aku” lama-lama merasa nyaman. Cerita makin berkembang dengan kejenuhan “aku” dalam grup ketika setelah mengikuti FC begitu banyak orang-orang dalam kehidupan biasa (setidaknya menurut “aku”) ternyata juga anggota FC. Ia heran, bukankah ada aturan tak boleh membicarakan adu tinju gelap ini dengan siapapun? “Aku” kembali gelisah dan sulit memercayai kebenaran lagi. Sosok Tyler menawarkan hal lain, membuat sabun dari lemak manusia dan mengajaknya dalam grup Project Mayhem.


Chuck memang lihai mengolah FC. Memang dalam FC tak ditemui penjelasan latar belakang siapa “aku” karena alur novel ini bergerak maju terus. Tapi, kelihaiannya mengolah FC membuat pembaca tak merasa perlu mengutak-atik siapa “aku” sehingga dapat menghanyutkan kita kepada peristiwa-peristiwa menggetarkan. Uniknya, penggambaran secara detail setting cerita pun jadi tak begitu penting karena dari novel ini terbetik suasana gelisah serta muram dalam kalimat yang singkat.


Sangat jelas aroma eksistensialisme ada di sini meski tanpa metafora karena Chuck adalah tipe penulis tanpa narasi yang berlarat-larat. Tengoklah kalimat (h.81): “Di Hotel Pressman, jika kau bisa bekerja malam hari akan menyulut kebencianmu pada masalah kasta,” kata Tyler. Yeah, kataku, terserahlah. “Mereka membuatmu memakai dasi kupu-kupu, kemeja putih, dan celana panjang hitam,” Dari kalimat berikut sudah tersirat anggapan sinis Tyler kepada kesibukan kota yang mengharuskan menjadi orang lain, bukan diri sendiri, juga strata sosial tak mengenakkan bekerja di hotel. Dan lebih gilanya lagi, di akhir novel kita bakal kaget menemui ending bahwa tokoh “aku” sebagai manifestasi sisi gelap manusia metropolis itu mengalami krisis identitas yang parah, “penyakit” lebih parah ketimbang “main-main” atau insomnia saja: ada sosok lain dalam dirinya!


Kegundahan FC yang naskah aslinya semula berjudul Insomnia: If You Lived Here, You'd Be Home Already memang beda misalnya jika kita membandingkan dengan tokoh yang diperankan Robert de Niro dalam film Taxi Driver, keedanan di balik wajah malaikat dalam film 8MM, novel Catcher in The Rye, American Psycho, atau Vernon God Little walau dalam karya-karya tersebut tersimpan ironi tokoh sejenis: kegundahan manusia metropolis. Kalau rata-rata mereka nyaris berputar hanya pada konflik pribadi atas ketidakpuasannya menghadapi semacam pranata sosial yang mapan, dalam FC, kegundahan tersebut seolah-olah berhasil menemui solusinya.


Meski kegilaan FC bisa jadi dilebih-lebihkan sebagai syarat memikatnya sebuah fiksi, Chuck menemukan kemungkinan tak dikatakan bahwa dalam pergerakan kota yang mapan tetap ada simbol kegelisahan, orang-orang yang kalah atau terperosok untuk menjadi “yang lain”, sebuah manifestasi bahwa manusia dalam kodratnya sebagai homo ludens- pribadi yang suka bermain-main- bisa terjebak pada kodratnya sendiri: menjadi korban dengan terbelenggu pada permainannya atau statis setelah menemukan sesuatu yang menyamankan dirinya. Tokoh Tyler, Marla, dan “aku” dalam FC menyiratkan hal pertama yaitu selain tenggelam dalam kegundahan tak bertepi, ia seperti terangsang menjadi liar, banal, bahkan subversif dalam tatanan hidup yang mapan.


Penerjemahan FC cukup baik. Alur novel yang cepat berhasil dihadirkan dengan lancar walau terbitan edisi bahasa Indonesianya terbilang telat. Filmnya (produksi 1999 oleh sineas David Fincher) yang juga tak kalah kuat dengan novelnya ini bahkan sempat beredar di Indonesia enam tahun lalu.*

Waktu

waktu itu menanti
waktu itu tak bersembunyi
waktu itu berjalan tak berlari
namun waktu meninggalkan pergi
waktu itu tak berdiam,
namun waktu dapat tertinggal
karena waktu itu berputar
karena waktu, semua berubah
waktu.......
karenanya semua kan berjalan