Minggu, 18 Desember 2011

pedih

Tak lihatkah kau betapa memarnya wajahku?

Inginku katakan betapa sakitnya rasa pengabdian yang tak dihargai. Namamu kuhias dengan porselin termewah yang ada di dunia ini. adakah rasa empatimu saat aku menjaga dengan segenap ketulusan agar nama itu tak pernah tergores bahkan oleh sebatang lidi, dan kukorbankan namaku sendiri tersayat belati.

Benih yang pernah kau titipkan di rahimku kini sudah menjadi remaja yang siap meraih cita. Dapatkah kau wujudkan cita putrimu itu?

Kau hanya berkata “berhentilah!”.

Wajahmu tak serupawan dulu, sikapmu pun tak sebijak dulu. Kau buat anak istrimu seperti pajangan penghias ruang tamu. Bahkan, kau buat aku lebih menarik. Sedikit sentuhan-sentuhan kecil yang sangat menyakitkan, kau beri warna merah dan biru di sekitar wajah dan sekujur tubuhku.

Wajahmu legam, urat matamu sudah seperti rajutan kusut bibi penenun. Entah kenapa semua orang masih menganggapmu bak pahlawan. Tidakkah kau sadari bahwa setiap rupiah dikantongmu itu adalah peluh ku. Andai ku dapat berontak dengan tegas. Menggigitmu dengan segala senapan amarah yang telah terpompa dendam. Namun aku tetap diam, dan aku rela menjadi budakmu, bahkan seumur hidup. Siang malam kuhabiskan di dapur kebobrokan. Mengadoni donat-donat kecil agar dapat menyambung hidup. Kini putri kita sedang menatapku dengan iba, wajahnya yang tirus dan tubuh yang kurus kecil membuatku sedih. Pernahkah kau perhatikan itu? Usianya tujuh belas tahun tapi fostur tubuh seperti siswi kelas lima SD. Bangunlah bung. Lihat putrimu. Ia butuh gizi yang lebih baik, bekerja lah jangan kau buat ia menjadi semakin menyusut. Setiap kata yang terpendam dalam hati itu semakin membuatku sesak, kini ia sedang membantuku memotong sayuran, jari-jarinya yang kurus dan panjang membuatku semakin sakit, lebih sakit dari tamparanmu tempo hari. Aku pun menangis. Tak kuasa menyaksikan bukti ketidakbecusanku menjalani hidup. Tuhan, dapatkah kau memaafkanku, tak gujaga titipanmu dengan baik, hingga badannya tak seindah kawan-kawan seusianya.

DALAM BELENGGU SAJAK BERWUJUD

DALAM BELENGGU SAJAK BERWUJUD

17 Februari 2010

Untaian kata menjadi lencana , setiap tiara yang terkait memberikan jentikan kalbu. Rahasia terbongkar dari klausa indah yang menggantung. Kamu membuat aku limbung.

Saat terdiam, deru napas itu menyulam makna yang terucap. Fosil kenangan yang terkubur dalam, menyeruak hingga ke dasar. Auramu mengancam kebahagiaan.

“Dapatkah tak kau usik ketenangan surgawi yang kuhirup ini?”

Sudikah jika mawar yang merekah tiba-tiba layu tersundut racun, dan menjadi sampah tak berarti. Jika malam dapat berkata “aku adalah siang” dan siang tak mau menyerahkan jati dirinya. Semua kan menjadi dilema besar yang menimbulkan prahara penyulut api kemurkaan.

Inilah kala bumi terbelah menjadi puing. Perdamaian yang terobek secuil usil menjadi rusuh, cerulit gir melayang-layang tak terkendali.

Korban dan tersangka sama-sama berguling dalam lautan emosi. Tahukah kamu, ini bukan tentang tauaran antar anak sekolah melainkan pertarungan antara malaikat dan setan dalam diri.

Sejentik jemari melanglang buana menampilkan ekspresi. Balutan doa dan gemuruh amarah bersatu padu mencoba melakukan tumbukan sempurna. Dan hasilnya gagal.

Metafisik dan geofisika tak tercerna dalam benang-benang syaraf. Semua bernilai nol dan tak terdefinisi. Ini bukan mata pelajaran yang memang tak kukuasai sama sekali. Hanya saja, kubahas sekilas mengalihkan pikiran agar inspirasi itu kembali.

17 Agustus 2010

Kau sajak yang berwujud. Kutahu kau bukan nabi. Namun bagiku, Jejak yang kau tinggal, terjun mengharum dan bersemi. Sejuta jiwa dapat menatapmu dengan lembut. Seribu mata memandangmu takjub. Dan aku melihatmu layaknya mentari yang menyinari pagi dengan kehangatan damai.

Ini kisah antara aku dan kamu. kau memang bukan anggota malaikat utusan tuhan yang di terjunkan ke dunia. Tapi kau malaikatku. Papah aku sampai aku dapat merentangkan tangan dan merasakan udara menerpaku dengan damai, dan angin pantai menerbangkan aku bersama burung-burung camar yang juga menghargaiku.

Januari, 2011

Wahai sajak berwujud, naluriku bergetar, ketika kau ucapkan janji abadi itu. Tidakkah kau tahu bahwa sudah kupupuskan semangat hidup di ujung badai kemarin? Dan kau menata serpihan rapuh hati ini. demi nama Tuhan, kau sajak yang berwujud dengan syair-syair syahdu. Rupamu pun mewakili seribu kata sastra para pujangga.

Februari, 17, 2011

Sajakku, cincin yang kau lingkarkan di jari manisku di malam romantis itu, membuat aku tertegun sungguh. Dua dunia pun memandangku takjub bercampur jijik, beberapa awan memang mengintip iba dan haru. Hujan pun terundang dan menyambutku dengan semangat. Kau tahu, bahagiaku terkumpul dan membentuk kristal-kristal indah. Oh, wahai masa yang sudah kulalui. Rasanya penyesalan memang tak berarti. Rembulan yang tak rupawan pun bisa mendapatkan bumi yang elok dan menawan, dan aku, layaknya pujangga yang haus akan karya, aku memilikimu wahai sajakku yang berwujud.

Februari, 2011

kini aku terkurung di kamar asing yang penuh dengan nyamuk. Aku menunggumu. Menanti ketukan pintu dari sajakku yang berwujud. Mengharapkan kamu yang tampan mengucapkan salam, membuka pintu kamar yang terkunci dari luar, menyambutku dengan lapang. Berikan aku sentuhan imajinasi, agar sajakku lebih rupawan lagi.

***

Agustus, 2011

Malam ini, tak kutemui sedikit pun keelokan dari pesona rasa yang kau berikan. Aku merasa terkurung. Kau tak mengancamku, tak jua memotori tindak tandukku. Namun aku ingin menatap wajahnya.

Sajakku yang berwujud, dapatkah kau mengerti, bahwa aku memiliki puisi lain yang sangat kusayangi? Bahkan setiap larik dan baitnya mengalir di darahku, ada dalam deru napasku, juga di setiap detak jantungku. Aku ingin kembali, namun terkurung dalam janji. Sajakku, tidakkah kau tahu, aku perih dalam dosa? Mengasingkan diri terasa diasingkan. Tahukah kamu satu puisi mengandung dan melahirkanku dengan banyak kepedihan? Bahkan membesarkanku pun butuh banyak perjuangan. Sajakku. Beri aku waktu bersama kedua puisiku yang berharga. Demi tuhan kau dan mereka adalah hartaku yang tiada tara. Bahkan, aku tak dapat menandingi keindahan kau dan mereka, jangan bunuh aku bersama rasa yang tak kumau. Rasanya, mati terbunuh belati lebih nikmat dibandingkan hidup yang tersayat sesal dan ragu.

Sajakku, beri aku satu sloki kebebasan agar dapat menikmati tetesan nikmat tuhan bersama kedua puisiku. Demi namamu, mereka amat berarti untukku. kutahu, aku adalah tinta dalam kertasmu yang haus kata. Aku pun tinta yang dibutuhkan oleh pasir syair mereka. Sungguh, mereka merasakan dahaga yang amat hebat dibandingkan kamu.

September, 2011

Sajakku, untuk malam ini. biarkan aku istirahat. Hanya sejenak. Waktu pagiku habis bersama balita, siang dan soreku berkutat bersama buku dan tinta, haruskah aku tetap mematung dan tersenyum melihat kelihaian tanganmu memutar botol?yDan dini hari aku harus terbangun untuk mencuci pakaian kotormu. Itu tugasku.

Tapi, aku hanya butuh satu sloki kebebasan untuk menemui kedua puisiku. Bolehkah? Mereka canduku. Aku benar-benar membutuhkan zat adiptif yang telah disuntikan tuhan dalam tubuhku saat aku berbentuk zigot. Tuhan maha tahu sajakku, demi tuhan, beri aku satu sloki kebebasan agar dapat menulis beberapa bait lagi di tubuh kedua puisiku.

Oktober, 2011

Tipografimu mencekik hingga tak kurasakan hembusan napas lega terpompa oleh paru-paruku yang sehat. Tak pernahkah kau lihat kulit jangatku sudah mulai mengelupas dan menampakkan jalur-jalur urat syaraf membiru lebam. Sajakku, demi namamu yang amat aku sayang. Seribu kaleng kulempar di samudra yang dangkal, kelak kau pasti temukan itu. Lihat aku sajakku, betapa aku tak dapat menjauh darimu, kau zat adiktifku. Aku terpasung dan diam. Aku jengah tetap diam. Dapatkah aku berevolusi? Dirimu yang mengangkatku saat terjatuh, dan sekarang aku lumpuh dipelukanmu. Kau ada tapi tiada, kau terasa tapi tak teraba. Aku terlelap di dada bidangmu yang entah nyata atau tidak.

November, 2011

Sajakku yang telah membelenggu, akan kucampakkan kau di malam kelam saat gelap menjadi raja, dan kan kutemui kekasih sejatiku bersama awan. Tenang saja, tak akan aku goreskan kawat dipergelangan tangan, atau pun kutenggak secangkir obat kecoa. Aku akan menemui kekasihku. Segera, karena ia telah menjemputku.

Sajakku. Ini catatan terakhirku. Kau memang membelenggu aku, aku tak terpasung, namun tetap terkurung. Sajakku, kau yang terindah dari seribu pantun yang telah singgah dipelabuhan diariku. Terimakasih, kelak jika kita hidup dalam waktu lain, kau kan tetap menjadi sajakku yang utuh.

Esok aku kan pergi, sajakku. Ini akhir dari belenggumu, mungkin esok aku kan pulang, dua malaikat maut telah berdiri di depan pintu. Sajakku, tetap tebarkan keindahanmu. Sungguh, aku mencintaimu.

Gontai

Sri Astuty Damayanti

Jika dosa tercipta atas dasar cinta, jiwa pun akan menganggap bahagia itu ada. Sekali pun cinta kandas dan binasa. Namun dosa yang hadir karena ketololan, menjadi trauma tersendiri. Seperti dunia yang terselimuti kabut hitam. Penyesalan menahun yang tak kunjung usai. Dosa itu menyayat nadi yang berdenyut getir. Darah-darah penyesalan mengalir perih di kamar mandi. Darah itu benar-benar tergenang bersama air bak yang tumpah karena terlalu banyak air yang mengalir dari keran. Sejuta harapan tergantung dari alam yang membentuk, merawat dan mengokohkan. Aku membelenggu dalam kenangan hitam yang tak juga reda.

Sebelas tahun menanti cahaya dengan diam, tak bersuara. Membuat raga ciut dan rapuh. Tidakkah cahaya itu datang dengan sendirinya, saat kubongkar kemarin, dan semuanya sia-sia. Awan kelabu semakin tebal memayungi. Dunia fana semakin gersang dan tandus. Aku hilang arah. Tujuan hidup telah terkikis sedikit demi sedikit. Terus kugoreskan serpihan gelas itu di nadi tanganku, rasanya sangat perih saat darah merembas dan bersatu dengan air mata, tapi hati ini masih terlampau jauh sakitnya dibandingkan luka-luka kecil itu. Adakah sebuah keajaiban yang dapat memapahku menuju jalan yang lebih baik atau mungkin sebuah musibah yang membuatku lupa akan segala masa kelam itu?

Aku ingin dunia dewasaku bahagia. Tak ada penyesalan mendalam seperti ini.

Bolehkah aku mendapat kasih Tuhan? Namun kondisiku berbeda dengan mariam. Ia mendapatkan anugrah seorang isa dari imannya kepada Tuhan. Aku hanya umat yang menorehkan sedikit luka dihati Tuhan. Akankah aku dapat belas kasih tuhan yang sangat penyayang itu? Setiap malam aku bersimpuh kepadanya dengan butiran air mata yang tak terbendung, namun kubawa pula setiap tetesan darah yang keluar dari nadiku.

Doaku pada tuhan untuk segera kembali hidup di sisinya tak jua dikabulkan. Usahaku untuk memenuhi ingin itu pun tak juga dilancarkan. Sebegitu bencikah tuhan kepadaku sehingga tak mau mengangkatku dan menyandingkan aku di sisinya? Aku ingin mengakhiri hidup ini dengan segera. Hidup ini seperti kematian yang tetap hidup. Tak ada cahaya, tak ada kebebasan udara, bahkan angin pun tak kurasakan sepoinya. Aku tak merasa percakapan dua arah antara aku dan makhluk sosial lain terjadi, bahkan terkadang aku tak merasakan kehadiran mereka. Begitu gelapnya kah hidupku yang sudah tak kuhargai? Demi Tuhan sang pemilik raga ini, aku tak kuat lagi menahan segala perih yang kurasakan , rotasi bumi antara siang malam pun sudah tak berarti.

Hingga kapan kah aku diam dalam jasad yang mati ini, bolehkah aku meminta seteguk kehangatan agar dapat mengedipkan mata dan mengaburkan semua ingatan perih? Sungguh kali ini aku frustasi. Demi masa yang ingin kulalui tapi tak pernah aku lalui sama sekali. Aku ingin hidup bebas dengan udara yang gratis. Aku juga ingin mendapat kesempatan berburu diskon kebahagiaan. Tapi tak bisa. Demi Tuhan aku tak bisa merasakan kebahagiaan. Fonis menjijikan itu terus membuntutiku hingga ke lubang semut. Bahkan tak ada satu manusia pun menganggap aku orang yang tak bersalah. Oh malaikat rokib dan atid, bukakan segala amal perbuatanku di depan mereka. Aku hanyalah korban bukan? Aku korban bukan pelaku. Mengapa semua orang menganggapku pelaku utama. Untuk kakekku, ini bukan rasa malu. Demi tuhan ini bukan rasa malu. Ini rasa kesal dan amarah. Demi langit dan bumi yang menyaksikan ketololan itu berlangsung. Aku benar-benar korban. Sejuta alasan apa pun yang kau berikan untuk terus mengguncingku aku tak akan goyah. Demi tuhan aku hanyalah korban yang masih tak mengerti apa yang aku lakukan. Dan itu telah terjadi hampir sebelas tahun yang lalu. Kakek buka matamu. Bukankah tuhan memberimu anugerah untuk meneropong masa itu? Bangunlah dari pemikiranmu yang tak adil. Aku ini orang yang sangat menghormatimu tapi kau tak pernah membelaku sampai detik ini. bebaskan saja pecundang itu hingga ajalnya sendiri yang menjemput. Demi tuhan yang mengetahui segala apa yang terjadi. Aku tak mengharapkan apa pun. yang kumau hanya satu. Berikan aku secercah cahaya keabadian. Agar aku dapat melangkah dengan ketegaran batu koral.

Kakek, dapatkah kamu berpikir tentang yang aku rasakan? Dosa dan trauma itu terus mengakar hingga kini. Jika kau menyalahkan yang lain berpikirlah bahwa itu karena aku sudah tak berharga. Dua fase kehidupan kulalui dengan bungkam, guna kujaga nama baikmu, tidakkah kau ketahui itu? Aku sudah tak berharga sejak usiaku masih satuan tahun. kau selalu menyalahkan aku yang tak mengerti bagaimana melalui hidup yang sangat menyebalkan ini. aku hanya membuka rongga perih agar aku lapang. Bukan untuk selalu diseret ke dalam kepahitan. Tidakkah kau ketahui aku lebih frustasi dari sebelas tahun yang lalu mendapatkan ketidakadilan ini? jika memang kau tak dapat menghargaiku. Bunuh aku dengan mantramu. Aku tak peduli di mana pun aku nanti. Aku rela pergi. jika memang kau tak seburuk itu, bunuh aku dengan tangan mu sendiri. Aku tak peduli siang atau malam yang jadi saksinya. Aku sudah tak tahan dengan ketidakadilan ini.

Terimakasih untuk segala hidup yang sangat tak berarti ini kakek. Kau memang yang paling mulia. Hingga tak dapat membedakan siapa yang layak kau bela.

Jumat, 26 Februari 2010

kehidupan

ini adalah kehidupan yang kujalani

hari ini

tepat pada pagi yang masih lembab berembun

aku pulang dengan hati yang riang namun ruma tak menyambutku dengan hal yang sama

asap menggelora di setiap lekuk dan sudut. napasku tak terkendali

semua memerah

membara

marah

aku menangis dan aku yang terhakimi 

sakit


Minggu, 03 Mei 2009

03-05-09
hidup penuh dilematika,,,,,,,,
aq pusing___________
semua yang ku jalani tak beralasan, semuanya kacau,,, entah seperti apa aku harus berjalan,, waktu tak dapat mengulaang, berjalanpun takan dapat merubah segalannya,,,, susah sungguh,,,,

Jumat, 15 Agustus 2008

Sastra adalah dunia imajinasi. Tapi tak ada karya sastra paling imajiner yang sanggup memiliki wilayah otonomi mutlak, subjektif, bahkan tiada sangkut pautnya dengan individu atau kalangan tertentu seperti perkataan Adolfo Sanchez Vasquez “sastra lahir dalam kekinian dan kedisinian yang konkret” (Art and Society, Merlin Press, London, 1973). Memang Vasquez dalam buku tersebut menuliskan pandangannya tentang seni (dalam konteks ini adalah sastra) dari kacamata Marxisme. Namun ada satu hal yang mewakili pandangan manapun: karya sastra tak mungkin lahir dari ruang kosong.


Kira-kira seperti itulah novel debutan Charles Michael Palahniuk atau Chuck Palahniuk ini lahir. Alumnus jurnalistik Universitas Oregon yang aktif sebagai jurnalis lepas ini lahir memotret sisi gelap sosok manusia kota di tengah generasi yang terjerumus modernisme semu. Tanda zaman yang seolah-olah baik adanya tapi karena pergerakan yang cepat, kejujuran dan sisi manusiawi menjadi hilang maknanya.


Fight Club (selanjutnya disebut FC) mengisahkan “aku” seorang pegawai biasa yang jenuh dengan rutinitas. Untuk mengalihkan kebosanan ia tiap malam masuk support group atau sharing problem orang-orang dengan masalah kesehatan. Semula keinginannya masuk grup untuk mengalihkan penyakit insomnia-nya. Berbagai obat dan cara tak berhasil. Sang dokter (yang mungkin juga sudah kehabisan akal) menyarankan untuk mengetahui seperti apa itu rasa sakit dengan melihat, misalnya, rasa sakit penderita kanker otak. Maka, masuklah “aku” ke berbagai support group. Misalnya hari Jumat ia mengikuti grup penderita tuberkulosis, hari Rabu tumor kulit, dan Senin penyakit leukemia. Keasyikannya mengikuti berbagai grup itu menemuinya pada kebohongan. Berkali-kali ia menjumpai cerita dalam support group itu ternyata hanya isapan jempol, bahkan dilebih-lebihkan. Tak hanya itu, ia menemui Marla, seorang cewek yang juga gemar mengikuti berbagai support group hadir berkali-kali dengan nama lain, persis seperti “aku”.


“Aku” kemudian menjumpai Tyler yang sepertinya memberi solusi daripada tiap hari menyaksikan kebohongan: mengikuti ada tinju rahasia (fight club). Dalam grup ini tak ada kebohongan: pokoknya bertarung, lepaskan seluruh beban dalam otak! Aturannya mudah, jangan cerita kepada siapapun tentang grup ini. Sebuah keputusan yang edan memang. Bahkan ketika di pagi harinya di kantor, walau dengan wajah babak belur, “aku” lama-lama merasa nyaman. Cerita makin berkembang dengan kejenuhan “aku” dalam grup ketika setelah mengikuti FC begitu banyak orang-orang dalam kehidupan biasa (setidaknya menurut “aku”) ternyata juga anggota FC. Ia heran, bukankah ada aturan tak boleh membicarakan adu tinju gelap ini dengan siapapun? “Aku” kembali gelisah dan sulit memercayai kebenaran lagi. Sosok Tyler menawarkan hal lain, membuat sabun dari lemak manusia dan mengajaknya dalam grup Project Mayhem.


Chuck memang lihai mengolah FC. Memang dalam FC tak ditemui penjelasan latar belakang siapa “aku” karena alur novel ini bergerak maju terus. Tapi, kelihaiannya mengolah FC membuat pembaca tak merasa perlu mengutak-atik siapa “aku” sehingga dapat menghanyutkan kita kepada peristiwa-peristiwa menggetarkan. Uniknya, penggambaran secara detail setting cerita pun jadi tak begitu penting karena dari novel ini terbetik suasana gelisah serta muram dalam kalimat yang singkat.


Sangat jelas aroma eksistensialisme ada di sini meski tanpa metafora karena Chuck adalah tipe penulis tanpa narasi yang berlarat-larat. Tengoklah kalimat (h.81): “Di Hotel Pressman, jika kau bisa bekerja malam hari akan menyulut kebencianmu pada masalah kasta,” kata Tyler. Yeah, kataku, terserahlah. “Mereka membuatmu memakai dasi kupu-kupu, kemeja putih, dan celana panjang hitam,” Dari kalimat berikut sudah tersirat anggapan sinis Tyler kepada kesibukan kota yang mengharuskan menjadi orang lain, bukan diri sendiri, juga strata sosial tak mengenakkan bekerja di hotel. Dan lebih gilanya lagi, di akhir novel kita bakal kaget menemui ending bahwa tokoh “aku” sebagai manifestasi sisi gelap manusia metropolis itu mengalami krisis identitas yang parah, “penyakit” lebih parah ketimbang “main-main” atau insomnia saja: ada sosok lain dalam dirinya!


Kegundahan FC yang naskah aslinya semula berjudul Insomnia: If You Lived Here, You'd Be Home Already memang beda misalnya jika kita membandingkan dengan tokoh yang diperankan Robert de Niro dalam film Taxi Driver, keedanan di balik wajah malaikat dalam film 8MM, novel Catcher in The Rye, American Psycho, atau Vernon God Little walau dalam karya-karya tersebut tersimpan ironi tokoh sejenis: kegundahan manusia metropolis. Kalau rata-rata mereka nyaris berputar hanya pada konflik pribadi atas ketidakpuasannya menghadapi semacam pranata sosial yang mapan, dalam FC, kegundahan tersebut seolah-olah berhasil menemui solusinya.


Meski kegilaan FC bisa jadi dilebih-lebihkan sebagai syarat memikatnya sebuah fiksi, Chuck menemukan kemungkinan tak dikatakan bahwa dalam pergerakan kota yang mapan tetap ada simbol kegelisahan, orang-orang yang kalah atau terperosok untuk menjadi “yang lain”, sebuah manifestasi bahwa manusia dalam kodratnya sebagai homo ludens- pribadi yang suka bermain-main- bisa terjebak pada kodratnya sendiri: menjadi korban dengan terbelenggu pada permainannya atau statis setelah menemukan sesuatu yang menyamankan dirinya. Tokoh Tyler, Marla, dan “aku” dalam FC menyiratkan hal pertama yaitu selain tenggelam dalam kegundahan tak bertepi, ia seperti terangsang menjadi liar, banal, bahkan subversif dalam tatanan hidup yang mapan.


Penerjemahan FC cukup baik. Alur novel yang cepat berhasil dihadirkan dengan lancar walau terbitan edisi bahasa Indonesianya terbilang telat. Filmnya (produksi 1999 oleh sineas David Fincher) yang juga tak kalah kuat dengan novelnya ini bahkan sempat beredar di Indonesia enam tahun lalu.*

Waktu

waktu itu menanti
waktu itu tak bersembunyi
waktu itu berjalan tak berlari
namun waktu meninggalkan pergi
waktu itu tak berdiam,
namun waktu dapat tertinggal
karena waktu itu berputar
karena waktu, semua berubah
waktu.......
karenanya semua kan berjalan