Minggu, 18 Desember 2011

DALAM BELENGGU SAJAK BERWUJUD

DALAM BELENGGU SAJAK BERWUJUD

17 Februari 2010

Untaian kata menjadi lencana , setiap tiara yang terkait memberikan jentikan kalbu. Rahasia terbongkar dari klausa indah yang menggantung. Kamu membuat aku limbung.

Saat terdiam, deru napas itu menyulam makna yang terucap. Fosil kenangan yang terkubur dalam, menyeruak hingga ke dasar. Auramu mengancam kebahagiaan.

“Dapatkah tak kau usik ketenangan surgawi yang kuhirup ini?”

Sudikah jika mawar yang merekah tiba-tiba layu tersundut racun, dan menjadi sampah tak berarti. Jika malam dapat berkata “aku adalah siang” dan siang tak mau menyerahkan jati dirinya. Semua kan menjadi dilema besar yang menimbulkan prahara penyulut api kemurkaan.

Inilah kala bumi terbelah menjadi puing. Perdamaian yang terobek secuil usil menjadi rusuh, cerulit gir melayang-layang tak terkendali.

Korban dan tersangka sama-sama berguling dalam lautan emosi. Tahukah kamu, ini bukan tentang tauaran antar anak sekolah melainkan pertarungan antara malaikat dan setan dalam diri.

Sejentik jemari melanglang buana menampilkan ekspresi. Balutan doa dan gemuruh amarah bersatu padu mencoba melakukan tumbukan sempurna. Dan hasilnya gagal.

Metafisik dan geofisika tak tercerna dalam benang-benang syaraf. Semua bernilai nol dan tak terdefinisi. Ini bukan mata pelajaran yang memang tak kukuasai sama sekali. Hanya saja, kubahas sekilas mengalihkan pikiran agar inspirasi itu kembali.

17 Agustus 2010

Kau sajak yang berwujud. Kutahu kau bukan nabi. Namun bagiku, Jejak yang kau tinggal, terjun mengharum dan bersemi. Sejuta jiwa dapat menatapmu dengan lembut. Seribu mata memandangmu takjub. Dan aku melihatmu layaknya mentari yang menyinari pagi dengan kehangatan damai.

Ini kisah antara aku dan kamu. kau memang bukan anggota malaikat utusan tuhan yang di terjunkan ke dunia. Tapi kau malaikatku. Papah aku sampai aku dapat merentangkan tangan dan merasakan udara menerpaku dengan damai, dan angin pantai menerbangkan aku bersama burung-burung camar yang juga menghargaiku.

Januari, 2011

Wahai sajak berwujud, naluriku bergetar, ketika kau ucapkan janji abadi itu. Tidakkah kau tahu bahwa sudah kupupuskan semangat hidup di ujung badai kemarin? Dan kau menata serpihan rapuh hati ini. demi nama Tuhan, kau sajak yang berwujud dengan syair-syair syahdu. Rupamu pun mewakili seribu kata sastra para pujangga.

Februari, 17, 2011

Sajakku, cincin yang kau lingkarkan di jari manisku di malam romantis itu, membuat aku tertegun sungguh. Dua dunia pun memandangku takjub bercampur jijik, beberapa awan memang mengintip iba dan haru. Hujan pun terundang dan menyambutku dengan semangat. Kau tahu, bahagiaku terkumpul dan membentuk kristal-kristal indah. Oh, wahai masa yang sudah kulalui. Rasanya penyesalan memang tak berarti. Rembulan yang tak rupawan pun bisa mendapatkan bumi yang elok dan menawan, dan aku, layaknya pujangga yang haus akan karya, aku memilikimu wahai sajakku yang berwujud.

Februari, 2011

kini aku terkurung di kamar asing yang penuh dengan nyamuk. Aku menunggumu. Menanti ketukan pintu dari sajakku yang berwujud. Mengharapkan kamu yang tampan mengucapkan salam, membuka pintu kamar yang terkunci dari luar, menyambutku dengan lapang. Berikan aku sentuhan imajinasi, agar sajakku lebih rupawan lagi.

***

Agustus, 2011

Malam ini, tak kutemui sedikit pun keelokan dari pesona rasa yang kau berikan. Aku merasa terkurung. Kau tak mengancamku, tak jua memotori tindak tandukku. Namun aku ingin menatap wajahnya.

Sajakku yang berwujud, dapatkah kau mengerti, bahwa aku memiliki puisi lain yang sangat kusayangi? Bahkan setiap larik dan baitnya mengalir di darahku, ada dalam deru napasku, juga di setiap detak jantungku. Aku ingin kembali, namun terkurung dalam janji. Sajakku, tidakkah kau tahu, aku perih dalam dosa? Mengasingkan diri terasa diasingkan. Tahukah kamu satu puisi mengandung dan melahirkanku dengan banyak kepedihan? Bahkan membesarkanku pun butuh banyak perjuangan. Sajakku. Beri aku waktu bersama kedua puisiku yang berharga. Demi tuhan kau dan mereka adalah hartaku yang tiada tara. Bahkan, aku tak dapat menandingi keindahan kau dan mereka, jangan bunuh aku bersama rasa yang tak kumau. Rasanya, mati terbunuh belati lebih nikmat dibandingkan hidup yang tersayat sesal dan ragu.

Sajakku, beri aku satu sloki kebebasan agar dapat menikmati tetesan nikmat tuhan bersama kedua puisiku. Demi namamu, mereka amat berarti untukku. kutahu, aku adalah tinta dalam kertasmu yang haus kata. Aku pun tinta yang dibutuhkan oleh pasir syair mereka. Sungguh, mereka merasakan dahaga yang amat hebat dibandingkan kamu.

September, 2011

Sajakku, untuk malam ini. biarkan aku istirahat. Hanya sejenak. Waktu pagiku habis bersama balita, siang dan soreku berkutat bersama buku dan tinta, haruskah aku tetap mematung dan tersenyum melihat kelihaian tanganmu memutar botol?yDan dini hari aku harus terbangun untuk mencuci pakaian kotormu. Itu tugasku.

Tapi, aku hanya butuh satu sloki kebebasan untuk menemui kedua puisiku. Bolehkah? Mereka canduku. Aku benar-benar membutuhkan zat adiptif yang telah disuntikan tuhan dalam tubuhku saat aku berbentuk zigot. Tuhan maha tahu sajakku, demi tuhan, beri aku satu sloki kebebasan agar dapat menulis beberapa bait lagi di tubuh kedua puisiku.

Oktober, 2011

Tipografimu mencekik hingga tak kurasakan hembusan napas lega terpompa oleh paru-paruku yang sehat. Tak pernahkah kau lihat kulit jangatku sudah mulai mengelupas dan menampakkan jalur-jalur urat syaraf membiru lebam. Sajakku, demi namamu yang amat aku sayang. Seribu kaleng kulempar di samudra yang dangkal, kelak kau pasti temukan itu. Lihat aku sajakku, betapa aku tak dapat menjauh darimu, kau zat adiktifku. Aku terpasung dan diam. Aku jengah tetap diam. Dapatkah aku berevolusi? Dirimu yang mengangkatku saat terjatuh, dan sekarang aku lumpuh dipelukanmu. Kau ada tapi tiada, kau terasa tapi tak teraba. Aku terlelap di dada bidangmu yang entah nyata atau tidak.

November, 2011

Sajakku yang telah membelenggu, akan kucampakkan kau di malam kelam saat gelap menjadi raja, dan kan kutemui kekasih sejatiku bersama awan. Tenang saja, tak akan aku goreskan kawat dipergelangan tangan, atau pun kutenggak secangkir obat kecoa. Aku akan menemui kekasihku. Segera, karena ia telah menjemputku.

Sajakku. Ini catatan terakhirku. Kau memang membelenggu aku, aku tak terpasung, namun tetap terkurung. Sajakku, kau yang terindah dari seribu pantun yang telah singgah dipelabuhan diariku. Terimakasih, kelak jika kita hidup dalam waktu lain, kau kan tetap menjadi sajakku yang utuh.

Esok aku kan pergi, sajakku. Ini akhir dari belenggumu, mungkin esok aku kan pulang, dua malaikat maut telah berdiri di depan pintu. Sajakku, tetap tebarkan keindahanmu. Sungguh, aku mencintaimu.

Tidak ada komentar: