Minggu, 18 Desember 2011

Gontai

Sri Astuty Damayanti

Jika dosa tercipta atas dasar cinta, jiwa pun akan menganggap bahagia itu ada. Sekali pun cinta kandas dan binasa. Namun dosa yang hadir karena ketololan, menjadi trauma tersendiri. Seperti dunia yang terselimuti kabut hitam. Penyesalan menahun yang tak kunjung usai. Dosa itu menyayat nadi yang berdenyut getir. Darah-darah penyesalan mengalir perih di kamar mandi. Darah itu benar-benar tergenang bersama air bak yang tumpah karena terlalu banyak air yang mengalir dari keran. Sejuta harapan tergantung dari alam yang membentuk, merawat dan mengokohkan. Aku membelenggu dalam kenangan hitam yang tak juga reda.

Sebelas tahun menanti cahaya dengan diam, tak bersuara. Membuat raga ciut dan rapuh. Tidakkah cahaya itu datang dengan sendirinya, saat kubongkar kemarin, dan semuanya sia-sia. Awan kelabu semakin tebal memayungi. Dunia fana semakin gersang dan tandus. Aku hilang arah. Tujuan hidup telah terkikis sedikit demi sedikit. Terus kugoreskan serpihan gelas itu di nadi tanganku, rasanya sangat perih saat darah merembas dan bersatu dengan air mata, tapi hati ini masih terlampau jauh sakitnya dibandingkan luka-luka kecil itu. Adakah sebuah keajaiban yang dapat memapahku menuju jalan yang lebih baik atau mungkin sebuah musibah yang membuatku lupa akan segala masa kelam itu?

Aku ingin dunia dewasaku bahagia. Tak ada penyesalan mendalam seperti ini.

Bolehkah aku mendapat kasih Tuhan? Namun kondisiku berbeda dengan mariam. Ia mendapatkan anugrah seorang isa dari imannya kepada Tuhan. Aku hanya umat yang menorehkan sedikit luka dihati Tuhan. Akankah aku dapat belas kasih tuhan yang sangat penyayang itu? Setiap malam aku bersimpuh kepadanya dengan butiran air mata yang tak terbendung, namun kubawa pula setiap tetesan darah yang keluar dari nadiku.

Doaku pada tuhan untuk segera kembali hidup di sisinya tak jua dikabulkan. Usahaku untuk memenuhi ingin itu pun tak juga dilancarkan. Sebegitu bencikah tuhan kepadaku sehingga tak mau mengangkatku dan menyandingkan aku di sisinya? Aku ingin mengakhiri hidup ini dengan segera. Hidup ini seperti kematian yang tetap hidup. Tak ada cahaya, tak ada kebebasan udara, bahkan angin pun tak kurasakan sepoinya. Aku tak merasa percakapan dua arah antara aku dan makhluk sosial lain terjadi, bahkan terkadang aku tak merasakan kehadiran mereka. Begitu gelapnya kah hidupku yang sudah tak kuhargai? Demi Tuhan sang pemilik raga ini, aku tak kuat lagi menahan segala perih yang kurasakan , rotasi bumi antara siang malam pun sudah tak berarti.

Hingga kapan kah aku diam dalam jasad yang mati ini, bolehkah aku meminta seteguk kehangatan agar dapat mengedipkan mata dan mengaburkan semua ingatan perih? Sungguh kali ini aku frustasi. Demi masa yang ingin kulalui tapi tak pernah aku lalui sama sekali. Aku ingin hidup bebas dengan udara yang gratis. Aku juga ingin mendapat kesempatan berburu diskon kebahagiaan. Tapi tak bisa. Demi Tuhan aku tak bisa merasakan kebahagiaan. Fonis menjijikan itu terus membuntutiku hingga ke lubang semut. Bahkan tak ada satu manusia pun menganggap aku orang yang tak bersalah. Oh malaikat rokib dan atid, bukakan segala amal perbuatanku di depan mereka. Aku hanyalah korban bukan? Aku korban bukan pelaku. Mengapa semua orang menganggapku pelaku utama. Untuk kakekku, ini bukan rasa malu. Demi tuhan ini bukan rasa malu. Ini rasa kesal dan amarah. Demi langit dan bumi yang menyaksikan ketololan itu berlangsung. Aku benar-benar korban. Sejuta alasan apa pun yang kau berikan untuk terus mengguncingku aku tak akan goyah. Demi tuhan aku hanyalah korban yang masih tak mengerti apa yang aku lakukan. Dan itu telah terjadi hampir sebelas tahun yang lalu. Kakek buka matamu. Bukankah tuhan memberimu anugerah untuk meneropong masa itu? Bangunlah dari pemikiranmu yang tak adil. Aku ini orang yang sangat menghormatimu tapi kau tak pernah membelaku sampai detik ini. bebaskan saja pecundang itu hingga ajalnya sendiri yang menjemput. Demi tuhan yang mengetahui segala apa yang terjadi. Aku tak mengharapkan apa pun. yang kumau hanya satu. Berikan aku secercah cahaya keabadian. Agar aku dapat melangkah dengan ketegaran batu koral.

Kakek, dapatkah kamu berpikir tentang yang aku rasakan? Dosa dan trauma itu terus mengakar hingga kini. Jika kau menyalahkan yang lain berpikirlah bahwa itu karena aku sudah tak berharga. Dua fase kehidupan kulalui dengan bungkam, guna kujaga nama baikmu, tidakkah kau ketahui itu? Aku sudah tak berharga sejak usiaku masih satuan tahun. kau selalu menyalahkan aku yang tak mengerti bagaimana melalui hidup yang sangat menyebalkan ini. aku hanya membuka rongga perih agar aku lapang. Bukan untuk selalu diseret ke dalam kepahitan. Tidakkah kau ketahui aku lebih frustasi dari sebelas tahun yang lalu mendapatkan ketidakadilan ini? jika memang kau tak dapat menghargaiku. Bunuh aku dengan mantramu. Aku tak peduli di mana pun aku nanti. Aku rela pergi. jika memang kau tak seburuk itu, bunuh aku dengan tangan mu sendiri. Aku tak peduli siang atau malam yang jadi saksinya. Aku sudah tak tahan dengan ketidakadilan ini.

Terimakasih untuk segala hidup yang sangat tak berarti ini kakek. Kau memang yang paling mulia. Hingga tak dapat membedakan siapa yang layak kau bela.

Tidak ada komentar: